kagiatan ekstra

Jumat, 11 November 2016

Pahlawan tanpa tanda jasa

AKHIR tahun silam, dua tokoh proklamator yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menerima gelar pahlawan. Hal ini tentu melegakan kita semua, sekaligus mengundang pertanyaan, mengapa baru saat ini penganugerahan gelar itu disematkan? Apa karena ada penganugerahan kepada Presiden SBY dari Kerajaan Inggris? Berangkat dari fenomena ini, satu-dua orang menjadi kagum terhadap gelar-gelar yang bertaburan. Akan tetapi, ada sebagian besar yang bersikap apatis atau acuh tak acuh. Masalahnya, ruang kekaguman, di mana-mana telah menjadi ruang hampa tanpa makna.
Penganugerahan itu sebenarnya sudah lama atau layak diberikan. Hal ini mengingat bahwa dua tokoh proklamator itu sangat berpengaruh dan berkontribusi terhadap Negara kita. Gelar Pahlawan Nasional itu sebenarnya merupakan suatu penganugerahan terhadap tokoh yang dianggap berjasa kepada Negara. Beranjak dari hal itu, perlu kita cermati juga bahwa banyak-banyak sosok-sosok yang dapat dijadikan sebagai pahlawan. Salah satunya ialah guru.
Guru merupakan sebuah predikat pekerjaan atau profesi yang berkaitan dengan tanggung jawab pembentukan mental dan perkembangan intelektual anak-anak sebagai generasi penerus bangsa (Rochmiyati, 2009:33). Dalam konteks tanggung jawab ini, guru tentu akan menghadapi murid yang memiliki bermacam-macam latar belakang budaya serta status sosial yang berbeda-beda pula. Terdapat sebuah gambaran beban mendidik yang rumit dan berat. Belum lagi, ditambah beragamnya tingkat kenakalan, potensi intelegensi, dan ragam lainnya yang harus "dikelola" oleh guru. Sepertinya tidak salah jika konsekuensi atas tanggung jawab guru itu, kemudian padanya diberikan gelar sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Pada dasarnya hal ini tidaklah terlalu tepat jika suatu makna pahlawan diikuti dengan tanda-tanda dan penandaaan yang bermacam-macam. Apalagi, tanda untuk suatu jasa. Jasa kok hanya ditandai? Kalau mau serius dengan istilah-kata itu, semestinya ya "tanda" itu tidak sekedar lips service saja.
Secara etika dan moral memang sudah semestinya predikat pahlawan melekat pada sosok guru. Tapi, secara pragmatis harus jelas bentuk dan arahnya. Bentuk ekonomi, misalnya, sebagai parameter atau tolak ukur yang paling mudah terutama hal mengukur tanda-tanda itu. Pada dasarnya mengukur kualitas guru secara akademis, lantaran tidak semua guru juga mumpuni bobot nilai antara kemampuan dan keterampilannya.
Sering kita mendengar berita di media-media, baik cetak maupun elektronik ada oknum guru yang bertindak asusila dan anarkistis. Selain itu, memang harus diakui bahwa manajemen pendidikan kita masih kedodoran untuk menuju idealis sebagai sistem pengelolaan terhadap tenaga guru. Harapannya, sudah barang tentu penghargaan kepada mereka (guru) dalam bentuk yang lebih pragmatis, bukan sekadar hanyalah sanjungan belaka Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu sendiri.
Di luar persoalan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu, perlu ditilik lebih dalam lagi jika hakikat kepahlawanan itu akan diurai maknanya. Dengan kalimat yang tak njelimet, tidak rumit, esensi pahlawan dapat dikatakan sebagai subjek yang menyandang "pahala". Pahala-pahala sebagai keluaran atau hasil kemanfaatan subjek manusia terutama pada kehidupan. Di samping itu, kualitas pahlawan juga tidak bergantung pada kuantitas label seperti tanda jasa ataupun pengakuan-pengakuan apakah mereka punya jasa sedikit atau banyak.
Selanjutnya, persoalan kualitas pahlawan secara signifikan berkorelasi dengan sosok atau seseorang yang menjadi manifestasi sebuah panutan atau keteladanan. Lalu, muncul pertanyaan di benak kita, apakah sebenarnya teladan itu? Apakah teladan? Ataukah telatan? Tentu, jawaban yang relevan dan sesuai dengan konteks guru dapat ditarik maknanya dari kualitas dan kebermanfaatan eksistensinya terhadap kehidupan yang nyata.
Apabila kita merujuk pada kualitas kisah nabi-nabi Tuhan, dari situlah, akan dapat dijadikan sebagai referensi atau rujukan generasi umat manusia untuk melanjutkan kehidupan dalam membentuk peradaban yang lebih baik. Dengan kata lain, idiom ini ialah "lebih baik menjadi pokok imperatif hidup manusia, sebagai arah tujuan segala usaha manusia berada" (Macaryus, 2008:56).
Bisa dipahami bahwa jika sosok yang menjadi teladan tersebut dapat kita jadikan sebagai sumber inspirasi utama dan satu-satunya pegangan hidup. Kita bersiap-siap saja untuk menjadi dekaden atau ketertinggalan oleh pesatnya lajunya perkembangan zaman, atau bahkan menurunnya kualitas kehidupan.
Makna keteladanan yang dogmatis memang haruslah mengalami pembongkaran kembali untuk membuka pintu ketakjuban kita yang dapat menjadi bahaya. Apabilah terus menerus dibiarkan, hal ini tentu akan mengarah pada kultisisme. Seperti realitas saat ini jika dibandingkan dengan ukuran pendahulu kita yang dijadikan sebagai teladan atau panutan.
Hari ini kita terus berdecak kagum pada peradaban masa kini. Tapi, hanya berhenti dalam kekaguman saja, tanpa melakukan kreasi atau daya cipta baru yang lebih baik nilainya. Dalam hal ini, keluhuran peradaban nenek moyang kita juga jangan sampai dilupakan, tetapi substansinya adalah mengambil apa-apa yang bernilai. Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Ir. Soekarno, yaitu "Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah". Memang, kita perlu mempelajari dan mengkaji asal-usul, nenek moyang, serta tradisi kita, yang kesemuanya ini dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam berpijak dan melangkah. Bukanlah, kecepatan dan percepatan langkah kehidupan manusia itu bergantung pada seberapa mantap titik tolak dan pijakan kakinya? Identitas diri melalui budaya, itulah titik tolak kita.
Mengenai keteladanan itu, dapat kita pahami sebagai referensi alternatif dalam wujud pembentukan diri. Ini dapat dikatakan sebagai panduan pengalaman dari pendahulu kita untuk menyusuri belantara masa depan. Jika teladan itu kita simpan dalam idealisme tanpa menyesuaikan perkembangan peradaban dan enggan untuk membuka potensi diri kita, kita akan terus berada di bawah bayang sosok "telatan", bukan teladan. Dengan demikian, perkembangan kualitas peradaban kita akan mengalami stagnansi atau kemandekan.
Sosok teladan, pahlawan, idola, panutan, atau apa pun istilahnya patutlah kita hormati dan hargai. Kita pun mempelajarinya dengan lengkap, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Hal ini tentu bukan dijadikan tujuan akhir dan mengkultuskannya, hanya cukup untuk menjadi referensi ilmu, atau titik tolak gerakan.
Akhirnya, mengembarai fenomena guru sebagai sosok yang digelari Pahlawan Tanpa Tanda Jasa sampai pada tataran mengkritisi hakikat keteladaan, ini telah mengantarkan kita pada satu titik pemahaman bahwa sifat kekaguman perlu untuk diwaspadai, termasuk kagum kepada sosok teladan sekalipun. Seperti pepatah umum sang bijak, "Jangan pernah mempercayai sepenuhnya karena kepercayaan yang mutlak hanyalah untuk-Nya". Ini menandaskan bahwa masih banyak yang dapat dijadikan sosok-sosok pahlawan. Salah satunya adalah guru. Jadikan sosok guru sebagai orang yang dapat diteladani, bukan hanya pada tataran kekaguman saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar