AKHIR tahun silam, dua tokoh proklamator yaitu Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta menerima gelar pahlawan. Hal ini tentu melegakan kita semua,
sekaligus mengundang pertanyaan, mengapa baru saat ini penganugerahan
gelar itu disematkan? Apa karena ada penganugerahan kepada Presiden SBY
dari Kerajaan Inggris? Berangkat dari fenomena ini, satu-dua orang
menjadi kagum terhadap gelar-gelar yang bertaburan. Akan tetapi, ada
sebagian besar yang bersikap apatis atau acuh tak acuh. Masalahnya,
ruang kekaguman, di mana-mana telah menjadi ruang hampa tanpa makna.
Penganugerahan itu sebenarnya sudah lama atau layak diberikan. Hal
ini mengingat bahwa dua tokoh proklamator itu sangat berpengaruh dan
berkontribusi terhadap Negara kita. Gelar Pahlawan Nasional itu
sebenarnya merupakan suatu penganugerahan terhadap tokoh yang dianggap
berjasa kepada Negara. Beranjak dari hal itu, perlu kita cermati juga
bahwa banyak-banyak sosok-sosok yang dapat dijadikan sebagai pahlawan.
Salah satunya ialah guru.
Guru merupakan sebuah predikat pekerjaan
atau profesi yang berkaitan dengan tanggung jawab pembentukan mental dan
perkembangan intelektual anak-anak sebagai generasi penerus bangsa
(Rochmiyati, 2009:33). Dalam konteks tanggung jawab ini, guru tentu akan
menghadapi murid yang memiliki bermacam-macam latar belakang budaya
serta status sosial yang berbeda-beda pula. Terdapat sebuah gambaran
beban mendidik yang rumit dan berat. Belum lagi, ditambah beragamnya
tingkat kenakalan, potensi intelegensi, dan ragam lainnya yang harus
"dikelola" oleh guru. Sepertinya tidak salah jika konsekuensi atas
tanggung jawab guru itu, kemudian padanya diberikan gelar sebagai
"Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Pada dasarnya hal ini tidaklah terlalu
tepat jika suatu makna pahlawan diikuti dengan tanda-tanda dan
penandaaan yang bermacam-macam. Apalagi, tanda untuk suatu jasa. Jasa
kok hanya ditandai? Kalau mau serius dengan istilah-kata itu, semestinya
ya "tanda" itu tidak sekedar lips service saja.
Secara etika dan
moral memang sudah semestinya predikat pahlawan melekat pada sosok guru.
Tapi, secara pragmatis harus jelas bentuk dan arahnya. Bentuk ekonomi,
misalnya, sebagai parameter atau tolak ukur yang paling mudah terutama
hal mengukur tanda-tanda itu. Pada dasarnya mengukur kualitas guru
secara akademis, lantaran tidak semua guru juga mumpuni bobot nilai
antara kemampuan dan keterampilannya.
Sering kita mendengar berita di
media-media, baik cetak maupun elektronik ada oknum guru yang bertindak
asusila dan anarkistis. Selain itu, memang harus diakui bahwa manajemen
pendidikan kita masih kedodoran untuk menuju idealis sebagai sistem
pengelolaan terhadap tenaga guru. Harapannya, sudah barang tentu
penghargaan kepada mereka (guru) dalam bentuk yang lebih pragmatis,
bukan sekadar hanyalah sanjungan belaka Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu
sendiri.
Di luar persoalan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu, perlu
ditilik lebih dalam lagi jika hakikat kepahlawanan itu akan diurai
maknanya. Dengan kalimat yang tak njelimet, tidak rumit, esensi pahlawan
dapat dikatakan sebagai subjek yang menyandang "pahala". Pahala-pahala
sebagai keluaran atau hasil kemanfaatan subjek manusia terutama pada
kehidupan. Di samping itu, kualitas pahlawan juga tidak bergantung pada
kuantitas label seperti tanda jasa ataupun pengakuan-pengakuan apakah
mereka punya jasa sedikit atau banyak.
Selanjutnya, persoalan
kualitas pahlawan secara signifikan berkorelasi dengan sosok atau
seseorang yang menjadi manifestasi sebuah panutan atau keteladanan.
Lalu, muncul pertanyaan di benak kita, apakah sebenarnya teladan itu?
Apakah teladan? Ataukah telatan? Tentu, jawaban yang relevan dan sesuai
dengan konteks guru dapat ditarik maknanya dari kualitas dan
kebermanfaatan eksistensinya terhadap kehidupan yang nyata.
Apabila
kita merujuk pada kualitas kisah nabi-nabi Tuhan, dari situlah, akan
dapat dijadikan sebagai referensi atau rujukan generasi umat manusia
untuk melanjutkan kehidupan dalam membentuk peradaban yang lebih baik.
Dengan kata lain, idiom ini ialah "lebih baik menjadi pokok imperatif
hidup manusia, sebagai arah tujuan segala usaha manusia berada"
(Macaryus, 2008:56).
Bisa dipahami bahwa jika sosok yang menjadi
teladan tersebut dapat kita jadikan sebagai sumber inspirasi utama dan
satu-satunya pegangan hidup. Kita bersiap-siap saja untuk menjadi
dekaden atau ketertinggalan oleh pesatnya lajunya perkembangan zaman,
atau bahkan menurunnya kualitas kehidupan.
Makna keteladanan yang
dogmatis memang haruslah mengalami pembongkaran kembali untuk membuka
pintu ketakjuban kita yang dapat menjadi bahaya. Apabilah terus menerus
dibiarkan, hal ini tentu akan mengarah pada kultisisme. Seperti realitas
saat ini jika dibandingkan dengan ukuran pendahulu kita yang dijadikan
sebagai teladan atau panutan.
Hari ini kita terus berdecak kagum pada
peradaban masa kini. Tapi, hanya berhenti dalam kekaguman saja, tanpa
melakukan kreasi atau daya cipta baru yang lebih baik nilainya. Dalam
hal ini, keluhuran peradaban nenek moyang kita juga jangan sampai
dilupakan, tetapi substansinya adalah mengambil apa-apa yang bernilai.
Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Ir. Soekarno, yaitu "Jas Merah,
jangan sekali-kali melupakan sejarah". Memang, kita perlu mempelajari
dan mengkaji asal-usul, nenek moyang, serta tradisi kita, yang
kesemuanya ini dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam berpijak dan
melangkah. Bukanlah, kecepatan dan percepatan langkah kehidupan manusia
itu bergantung pada seberapa mantap titik tolak dan pijakan kakinya?
Identitas diri melalui budaya, itulah titik tolak kita.
Mengenai
keteladanan itu, dapat kita pahami sebagai referensi alternatif dalam
wujud pembentukan diri. Ini dapat dikatakan sebagai panduan pengalaman
dari pendahulu kita untuk menyusuri belantara masa depan. Jika teladan
itu kita simpan dalam idealisme tanpa menyesuaikan perkembangan
peradaban dan enggan untuk membuka potensi diri kita, kita akan terus
berada di bawah bayang sosok "telatan", bukan teladan. Dengan demikian,
perkembangan kualitas peradaban kita akan mengalami stagnansi atau
kemandekan.
Sosok teladan, pahlawan, idola, panutan, atau apa pun
istilahnya patutlah kita hormati dan hargai. Kita pun mempelajarinya
dengan lengkap, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Hal ini tentu
bukan dijadikan tujuan akhir dan mengkultuskannya, hanya cukup untuk
menjadi referensi ilmu, atau titik tolak gerakan.
Akhirnya,
mengembarai fenomena guru sebagai sosok yang digelari Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa sampai pada tataran mengkritisi hakikat keteladaan, ini telah
mengantarkan kita pada satu titik pemahaman bahwa sifat kekaguman perlu
untuk diwaspadai, termasuk kagum kepada sosok teladan sekalipun.
Seperti pepatah umum sang bijak, "Jangan pernah mempercayai sepenuhnya
karena kepercayaan yang mutlak hanyalah untuk-Nya". Ini menandaskan
bahwa masih banyak yang dapat dijadikan sosok-sosok pahlawan. Salah
satunya adalah guru. Jadikan sosok guru sebagai orang yang dapat
diteladani, bukan hanya pada tataran kekaguman saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar